Senin, 30 Mei 2022

Mengurai Arti Halal Bihalal


Meskipun mengandung unsur bahasa Arab, kata halal bihalal tidak ditemukan dalam kamus Arab modern maupun klasik. “Halal bihalal” hanya merupakan penyebutan khusus terhadap sebuah tradisi yang dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat muslim Indonesia, dengan makna “menguraikan kekusutan tali persaudaraan”.

Dari aspek bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla-yahallu-hallan, dengan makna terurai atau terlepas. Atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

Dengan demikian, jika memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.

Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.

Halal bi halal” sering dikaitkan dengan kalimat “MInal Aidin wal Faidzin, atau dalam kalimat lengkapnya "Ja ‘alanallahu wa Iyyakum Minal Aidzin wal Faidzin”. Artinya, “Semoga Allah SWT menjadikan kami dan Anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung”.

Doa ini diucapkan untuk mendoakan sesama Muslim agar kembali fitrah dan mendapat kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadhan.

Minal Aidin merupakan sebuah doa umat Islam agar bisa kembali suci seperti anak yang baru lahir, kita kembali kepada kesucian orisinalitas diri manusia seperti saat pertama diciptakan oleh Allah.

“Iedul berarti suatu perayaan yang diulang-ulang, sedangkan fitri bermakna suci. Maka Iedul Fitri merupakan perayaan kembalinya manusia terhadap kesucian yang itu hanya bisa diraih dengan memperoleh ampunan dari Allah swt, dan mendapatkan maaf dari sesama manusia,”

Ada tiga dosa tertua dalam sejarah manusia, yaitu sombong, serakah, dan iri hati.

SIFAT SOMBONG

“Sifat sombong bisa muncul karena merasa lebih baik dari segi keilmuan dan dari segi kataatan, keturunan, kekuasaan atau kekayaan. Sifat sombong pertama kali muncul ketika iblis diperintahkan oleh Allah untuk sujud kepada Nabi Adam, Allah berfirman dalam surat Al Baqarah Ayat 34: “Dan ingatan ketika Kami berfirman pada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Ia enggan, sombong dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”

Didalam ayat yang lain “Lalu para malaikat itu bersujud semuanya. Kecuali iblis dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir.” “Iblis berkata: ‘Aku lebih baik daripada nya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” ( QS Saad Ayat 73-74, 76).

Sebelum dilaknat, Iblis adalah hamba Allah yang taat selama ratusan tahun. Namun karena saat itu Iblis merasa unggul, merasa lebih senior dalam ketaatan dan lebih baik dari Nabi Adam yang baru kemudian diciptakan oleh Allah.

SERAKAH

Dosa tertua kedua adalah serakah. “Ketika Nabi Adam tinggal di surga bersama Hawa, keduanya dipersilakan oleh Allah untuk menikmati apa saja yang ada di dalamnya kecuali buah khuldi,” QS Albaqarah Ayat 35. “Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini dan makanlah makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim’.” Namun potensi negative dalam diri mendominasi keinginan yang berlebihan kepada keduanya sehingga larangan itu pun tidak diperhatikan. Sifat serakah manusia membuat ia lupa akan larangan yang diperintahkan Allah. Akhirnya buah khuldi pun dimakan.

HASAD

Dosa tertua ketiga adalah hasad atau iri hati. Ini yang dilakukan putra Nabi Adam, Qabil dan Habil. Ketika Allah memerintahkan keduanya untuk berkurban, Habil mempersembahkan kurban yang baik. Sedangkan Qabil sebaliknya. Sehingga Allah menerima kurban Habil. Qabil merasa iri hati dengan hal itu. Akhirnya Qabil membunuh Habil. “Jadi berawal dari Hasad, rasa iri hati, manusia tega membunuh saudara nya sendiri,”

Tiga dosa itu masih saja dilakukan manusia sampai sekarang. Padahal seharusnya manusia bisa mengambil ibroh dan hikmah agar tidak melakukan hal tersebut dalam perjalanan hidupnya di dunia. Ketika bayi lahir ke dunia keluarganya, semua orang yang menyaksikan sangat bergembira, mengucapkan puji syukur kepada Allah. Meskipun saat bayi pertama lahir menggenggam tanggannya, seolah melambangkan ambisi yang besar terhadap penguasaan alam dunia yang baru dimasukinya, tetapi toh sang bayi itu menangis, menangisi perjuangan hidup di dunia yang berat, hingga pada akhir hayat nanti manusia akan wafat dengan melepakan apa yang telah ia kumpulkan di dunia, kecuali iman, takwa dan amal sholehnya.

“Manusia yang cerdas adalah manusia yang tidak mengulangi kesalahan yang sama. Semoga kita semua terhindar dari tiga dosa tertua itu,” tambahnya.

Disampaikan oleh Bapak KH. Hafidz Anshori | Kajian Rutin Sabtu Subuh 28 Mei 2022

DKM Masjid Baitul Muttaqien