Minggu, 03 Juli 2022

Kajian Kitab Bulughul Maram – KITAB BERSUCI - BAB AIR


HADITS KE 4 yang artinya:

Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika banyaknya air telah mencapai dua qullah (kulah) maka ia tidaklah najis.” 

(Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban). [HR. Abu Daud, no. 63; Tirmidzi, no. 67; An-Nasai, 1:75:46; Ibnu Majah, no. 517]

Penjelasan dan Kesimpulan HADITS KE -4-       

Apabila air dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran yakni tidak najis. Hal ini tidak berlaku umum. Karena para ulama sepakat apabila air berubah karena najis maka air itu najis. Dalam masalah ini seorang Muslim harus berhati-hati. Bila menurut dugaan kuatnya bahwa najis telah memengaruhi air maka hendaklah ia tidak menggunakannya kecuali karena keperluan yang mendesak. Tetapi bila menurut dugaan kuatnya bahwa najis tidak memengaruhi air tersebut atau telah mendapat kepastian bahwa najis tidak memengaruhinya maka ia tidak perlu ragu untuk menggunakannya baik air itu sedikit ataupun banyak.4. Air yang terkontaminasi berbagai najis apabila diproses melalui berbagai sarana tehnologi kemudian najis itu hilang: Air ini boleh digunakan untuk menghilangkan najis dan hadats sehingga dengannya bisa tercapai thaharah secara sempurna.

Hadis ini memiliki mafhum (pengertian yang tersirat), bahwa apabila air tidak mencapai dua kullah maka menadi najis, baik air itu berubah ataupun tidak berubah. Mafhum ini bertentangan dengan hadis Abu Umamah terdahulu yang menunjukkan bahwa air tidak najis kecuali karena terjadinya perubahan. Dilalah hadis Abu Umamah yang menunjukkan bahwa air tidak najis kecuali karena perubahan adalah manthuq (pengertian yang tersurat) sedangkan dilalah hadis Ibnu Umar adalah mafhum (pengertian yang tersirat). 

Majlis Ulama Saudi Arabia mengeluarkan keputusan (no. 65 tanggal 25/10/1398 H) “Setelah melakukan penelitian, kajian dan diskusi diputuskan: “Berdasarkan apa yang disebutkan para ilmuwan bahwa air dalam jumlah banyak yang berubah karena najis bisa menadi bersih apabila perubahannya itu telah hilang dengan sendirinya, atau karena ditambahkan air bersih kepadanya, atau perubahannya itu hilang karena lama menetap, atau karena pengaruh  matahari dan tiupan angin, atau karena hal lain, karena hilangnya hukum itu mengikuti hilangnya ‘illat yang ada. 

Karena air yang terkena najis itu bisa dibersihkan najisnya dengan berbagai sarana, dan karena penjernihan dan pembersihannya dari berbagai najis yang tercampur itu dilakukan melalui berbagai sarana tehnik modern dan canggih, sehingga tidak diragukan tingkat kebenarannya bahkan diakui oleh para ahli di bidangnya, maka Majlis berpendapat bahwa air tersebut telah menjadi bersih setelah melalui proses penjernihan yang sempurna sehingga air itu kembali kepada kondisinya yang semula, tidak terlihat adanya perubahan rasa, warna atau pun baunya akibat terkena najis. 

Air ini boleh digunakan untuk menghilangkan najis dan hadats sehingga dengannya bisa tercapai thaharah secara sempurna. Sebagaimana air ini juga boleh diminun, kecuali apabila ada bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaannya. Bila masih mengandung bahaya maka dilarang penggunaannya demi menjaga jiwa dan menghindari bahaya, bukan karena najis. Demikian pula Lembaga Fiqh Islami di bawah naungan Rabithah Alam Islami pada pertemuannya yang ke-11 yang diselenggarakan di Mekkah, 13 Rajab 1409 H – 20 Rajab 1409 H, menetapkan bahwa air pam yang telah dijernihkan (biasanya melalui empat tahapan yaitu tarsib (pengendapan), tahwiyah (peranginan atau ventilasi), pembunuhan kuman dan sterilisasi) sehingga tidak ada lagi najis yang tersisa pada rasa, warna dan baunya, maka air tersebut menjadi bersih dan boleh digunakan untuk menghilangkan najis dan hadats.

HADITS KE 5 yang artinya:

Dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

“Janganlah salah seorang diantara kalian kencing di air yang tergenang (tidak mengalir) ketika ia dalam keadaan junub”. 

Diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan: 

Penjelasan dan Kesimpulan HADITS KE -5-

Orang junub sekalipun badannya suci tetapi bisa jadi ada cairan-cairan tersembunyi yang keluar akibat junub sedangkan kita tidak mengetahuinya lalu memengaruhi air dan mengotorinya. Karena itu dilarang mandi di dalam air yang tidak mengalir. 2-Syari’at yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meliputi semua aspek kehidupan dan mencakup semua kemaslahatan manusia baik di dunia ataupun di akhirat. Tidak benar seperti apa dikatakan sebagian orang bahwa syari’at hanya mengatur urusan ibadah antara manusia dan Tuhan sedangkan urusan lainnya diserahkan kepada manusia.

Para ahli ushul berbeda pendapat tentang larangan (yang tidak ditegaskan sebagai sesuatu yang diharamkan), apakah ia bernilai haram atau makruh, atau mereka membedakan antara sesuatu yang landasannya ibadah dan sesuatu yang landasannya adab dan kebersihan. Jika landasannya ibadah maka larangan itu bernilai haram tetapi jika landasannya adab dan kebersihan maka larangan itu bernlai makruh. 

[Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa larangan ini bernilai makruh, karena air tersebut tetap bersih. Madzhab Hanbali dan Zhahiri berpendapat bahwa larangan ini bernilai haram. Sebagian ulama berpendapat bahwa ia diharamkan bila airnya sedikit dan makruh bila airnya banyak.] (red.)

HADITS KE 6 yang artinya:

Dari seorang lelaki sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia berkata:

“Rasulullah shallallau alaihi wasallam melarang wanita mandi dengan sisa air laki-laki, atau laki-laki mandi dengan sisa air perempuan. Hendaklah keduanya menciduknya secara bersama-sama”.   

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i. Isnadnya shahih.

HADITS KE 7 yang artinya:

Diriwayatkan oleh Imam Muslim Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa: 

"Nabi shallallahu alaihwasallam pernah mandi dengan air sisa Maimunah”.

Penjelasan dan Kesimpulan HADITS KE -6 dan 7

Larangan dalam hadits ke 6 tidak dimaksudkan untuk mengharamkan tetapi sebagai arahan dan bimbingan, Sebagaimana  dijelaskan dalam hadits berikutnya, yaitu hadits ke 7 menunjukkan bolehnya seseorang mandi dengan air bekas istrinya. Mandi seperti ini tidak berpengaruh pada kesucian air. Karena air tidaklah jadi najis. Jadi hadits tersebut dimaknai makruh, bukan haram. Makruh bila laki-laki mandi dari bekas perempuan dan sebaliknya, apalagi jika masih ada air yang banyak. Jika ada kebutuhan, tidak jadi masalah laki-laki mandi dari bekas perempuan.

Seorang suami seharusnya melakukan sesuatu yang bisa menguatkan cinta, kasih sayang dan romantisme bersama  istrinya semperti mandi berbarengan antara suami-istri. Pengarahan Nabi shallallahu alaihi wasallam agar suami istri mandi bersama apabila keduanya wajib mandi. Dan Nabi i juga mempraktikkannya dengan Aisyah radhiyallau ‘anha. Keduanya pernah mandi bersama dari satu bejana. (red.)

KH. Hafidz Anshori - Sabtu, 2 dzulhijjah 1443  – 2 Juli 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar