Selasa, 12 Juli 2022

KHUTBAH IDUL ADHA 1443 H


Kaum Muslimin yang dirahmati Allah

Alhamdulillah, pagi hari ini kita patut bersyukur karena Allah anugerahkan nikmat iman, kesehatan, rizki yang lapang, dan umur panjang, sehingga kita masih berkesempatan menunaikan shalat idul adha tahun ini. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah beserta keluarga, sahabat, dan mereka yang mengikuti risalah-Nya hingga hari akhir kelak. 

Hari ini, kita sedang dihadapkan pada masalah-masalah keluarga yang semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dari angka pernikahan pada 2015 sejumlah 1.958.394, sejumlah 347.256 di antaranya mengalami perceraian. Data Pengadilan Agama Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2014 menjelaskan bahwa jumlah angka perceraian mencapai 5851 kasus. 

Sementara itu, permintaan dispensasi nikah di kotamadya Yogyakarta, berdasar data Pengadilan Tinggi Agama mencapai kisaran angka 370 pasang. Data Pengadilan Agama Kabupaten Sleman 2015 menyebutkan bahwa permintaan dispensasi nikah di Kabupaten Sleman sebesar 132 pemohon, 60% di antaranya adalah anak usia SMP. 

Dispensasi nikah merupakan izin untuk menikah karena yang bersangkutan masih berada di bawah usia perkawinan. Mereka mengajukan dispensasi nikah karena faktor- faktor tertentu yang memaksanya untuk segera menikah. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan.

Data-data di atas belum termasuk angka kekerasan dalam keluarga, kenakalan remaja (sejak perkelahian, hubungan bebas pra-nikah, hingga penyalahgunaan narkoba) yang juga sangat mengkhawatirkan. 

Saat kita sedang berhadapan dengan darurat keluarga ini, sejenak marilah kita belajar pada keluarga terpilih yang layak kita jadikan teladan. Allah memilih mereka sebagaimana dijelaskan Al-Quran. 

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam dan Nuh, serta keluarga Ibrahim dan keluarga Imran (sebagai teladan) atas seluruh alam semesta. (Q.s. Ali Imran [3]: 33). 

Demikianlah Al-Quran menuturkan kepada kita. Adam dan Nuh, secara personal, disebut sebagai hamba Allah pilihan (mushthafa), sementara Ibrahim dan Imran disebut secara kolektif sebagai satu kesatuan keluarga. Adam dan Nuh diuji oleh Allah dengan keluarga, sementara Ibrahim dan Imran menjadi teladan, salah satunya, bersebab keluarga mereka.

Allahu Akbar 3x wa Lillahilhamdu 

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah 

Hari ini kita mengingat keluarga mulia ini. Keluarga Ibrahim, yang terpilih sebagai keluarga yang sangat istimewa di sisi Allah . Ibrahim terpilih sebagai seorang nabi, bahkan menjadi bapaknya para nabi (abul anbiya ). Anak yang lahir darinya adalah nabi: Ismail dan Ishaq. Yang lebih mengagumkan, perilaku dan amal Nabi Ibrahim beserta keluarganya menjadi syariat yang ditunaikan pula hingga saat ini, seperti ibadah haji, qurban, dan khitan. 

Inilah keluarga terpilih yang layak menjadi teladan. Sebenarnya, tidak sekedar hari ini kita mengingatnya. Hampir setiap hari kita mengenangnya. Bukankah dalam setiap shalat kita melafal keluarga ini dalam doa tasyahud kita? Setiap kali kita memohon salawat serta kebarakahan untuk Rasulullah beserta keluarganya, maka permohonan yang serupa kita tujukan untuk Nabi Ibrahim beserta keluarganya.

Sungguh hari ini, ketika kita sedang dilanda darurat keluarga , kita sangat menghajatkan keteladan keluarga Ibrahim. Kita merindukan terbentuknya keluarga Muslim yang memiliki daya tahan kokoh. Kita sangat meyakini bahwa negeri ini akan kuat kalau ia ditopang oleh masyarakat yang kuat, dan masyarakat akan menjadi kuat kalau ia dibangun dari keluarga-keluarga yang kuat pula.

Pertama, mewariskan nilai-nilai tauhid pada setiap anggota keluarga. Ibrahim sangat serius dan istiqamah mewariskan nilai-nilai tauhid pada anak dan keluarganya. Inilah kunci utama keluarga mulia ini memiliki daya tahan yang sangat mengagumkan. Tidak ada kekhawatiran akan berkurangnya materi melebihi kekhawatiran atas melemahnya iman dalam diri anak dan keturunannya. 

Tugas kita bukanlah mencetak anak- anak menjadi hebat dan mengagumkan sesaat, melainkan membentuknya menjadi seseorang yang terus berkembang untuk masa yang akan datang. Tugas kita bukan menjadikan anak-anak berprestasi untuk masa yang pendek. Tugas kita adalah menyiapkan mereka menghadapi hari-hari yang panjang. 

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya´qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak- anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam" (Q.s. Al-Baqarah [2]: 131-132). 

Ibrahim, demikian dijelaskan Dr. Abdul Karim Zaidan, mengkhususkan anaknya dengan wasiat karena dorongan perasaan seorang ayah terhadap anak- anaknya jauh lebih kuat daripada orang lain, dan ketika pengkhususan ini dilakukan di akhir usia, ini menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap isi dari wasiat tersebut. Ini artinya, kerja pewarisan tauhid ini semestinya ditunaikan setiap keluarga Muslim dengan sangat serius, melebihi keseriusan kita menyiapkan anak- anak untuk sukses dan berprestasi dalam hal-hal duniawi. 

Kedua, keteladanan (qudwah) yang nyata. Nilai-nilai tauhid itu tidak sekedar tersampaikan secara lisan, tetapi ia tertanam kuat karena keteladanan. Itulah yang dilakukan Nabi Ibrahim . Nilai tauhid itu terlihat sehari-hari dalam kehidupan. Ia tampak saat keluarga mulia itu menempatkan cintanya kepada Allah dan Rasul- Nya melebihi pada yang lain. Nabi Ibrahim tentu lebih memilih Ismail tidak disembelih. Namun, karena ia merupakan perintah Allah , kewajiban itu tertunaikan juga.

Keteladanan sungguh sangat diperlukan dalam proses penanaman nilai. Anak-anak akan mengetahui kondisi ideal yang diharapkan dari contoh nyata dalam keluarga mereka. Di sisi lain, ketika anak-anak masih belum dewasa, proses penyerapan nilai lebih banyak terjadi pada sesuatu yang dilihat dan didengar anak dalam kehidupan sehari-hari. 

Ini pula yang dapat kita pelajari dari Rasulullah . Adalah Ibnu Abbas r.a. yang akhirnya meniru Rasulullah saat mengetahui beliau selalu mengerjakan shalat malam. Diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Abbas r.a. pernah menuturkan, Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah. Nabi biasa bangun untuk shalat malam. Suatu malam, Nabi bangun lalu berwudlu dengan wudlu yang ringan dari kendi yang digantung. Setelah itu beliau shalat. Aku pun berwudlu seperti wudlu beliau. Kemudian aku berdiri di damping kiri beliau. Namun, beliau menarikku dan meletakkanku di samping kanan beliau. Kemudian beliau shalat beberapa rakaat.

Allahu Akbar 3x wa Lillahilhamdu 

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah 

Begitulah kekuatan keteladanan orang tua bagi pembentukan karakter anak. Sungguh, anak-anak selalu penjadi pengamat paling jeli atas perilaku dan ucapan orangtuanya. Kedua orangtua selalu dituntut menjadi teladan yang baik, demikian ditegaskan Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, karena, seorang anak yang berada dalam masa pertumbuhan selalu memerhatikan sikap dan ucapan kedua orangtuanya. 

Oleh karena itu, sungguh, tak banyak manfaatnya orangtua menasihati anak untuk percaya pada kuasa Allah , sementara tiap hari yang diperdengarkan di dalam rumah adalah keluhan demi keluhan atas tak berlimpahnya materi. Demikian pula, tak banyak pengaruhnya orangtua menyuruh anak-anak rajin shalat, sementara ia lebih asyik melihat televisi atau gawai saat adzan telah berkumandang.  

Ketiga, bangun kedekatan dengan anak dan keluarga, lalu libatkan mereka dalam amal kebaikan. Nabiyullah Ibrahim terlibat bersama dalam pembangunan Ka bah dengan putra beliau, Ismail . Hubungan antara ayah dengan anak terbangun dalam aktivitas bersama. Menciptakan aktivitas bersama dalam amal kebaikan menghajatkan keterlibatan penuh dari orangtua. Orangtua tidak sekedar dekat dengan anak, lebih dari itu, ia benar-benar bersama dengan anak. Oleh karena itu, jangan sampai terjadi, anak-anak merasa yatim dari kehadiran Ayah mereka. 

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (Q.s. Al-Baqarah [2]: 127). 

Dalam kebersamaan itulah Ibrahim menanamkan nilai-nilai tauhid dan kebaikan pada putranya, Ismail . Begitulah kita belajar pada Nabi Ibrahim, bermula dari kedekatan dan kebersamaan antara ayah dengan anak, nilai-nilai terwariskan. Boleh jadi melalui percakapan, nasihat, obrolan dialogis, atau (seperti Nabi Ibrahim dalam surat al-Baqarah ayat 127 di atas) nilai- nilai itu tersampaikan melalui doa-doa. 

Dari Rasulullah kita pun dapatkan pelajaran berharga. Beliau selalu memanfaatkan setiap kebersamaan dengan anak untuk menanamkan nilai. Kadang dijumpai nasihat-nasihat itu tersampaikan saat beliau sedang melakukan perjalanan di atas kendaraan, saat sedang makan, saat bertemu anak-anak di jalan, ketika bermain dengan anak, dan sebagainya.

Aku masih sangat kecil ketika berada dalam pengawasan Rasulullah , demikian kata Umar bin Abi Salamah, seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Tanganku bergerak ke sana kemari di atas nampan makanan. Rasulullah lalu menasihatiku, Hai anak kecil, ucapkanlah basmalah, makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah apa yang ada di hadapanmu. Nasihat itu tertancap dalam pada diri Umar bin Salamah. Itulah sebabnya, ia lalu mengatakan, Sejak saat itu, begitulah caraku makan. 

Keempat, selalu memanjatkan doa kebaikan bagi anak dan keluarga. Tak ada yang kuasa menjaga keluarga kita, kecuali Allah . Oleh karena itulah, Nabi Ibrahim senantiasa memohon pada Allah, kebaikan bagi anak dan keluarga beliau. Al-Quran menjelaskan kepada kita doa- doa Nabi Ibrahim , yang hampir pada setiap doa-doa beliau selalu terpanjatkan permohonan kepada Allah anak keturunannya senantiasa mendirikan shalat. 

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang- orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku (Q.s. Ibrahim [14]: 40).

Demikianlah, Ibrahim menyampaikan permohonannya kepada Allah . Sebuah permohonan yang (barangkali) di masa kini, oleh sebagian masyarakat dianggap aneh dan ndeso. Yang diminta oleh Ibrahim adalah agar keluarganya menjadi orang-orang yang rajin mendirikan shalat. Sungguh, inilah permohonan yang lahir dari daya jangkau pemikiran yang sangat luas, panjang, mendalam, dan dilandasi oleh iman. Kenapa yang diminta adalah keteguhan dalam menegakkan shalat? Sebab, beliau sangat yakin bahwa shalat membawa kebarakahan di semua aspek kehidupan. 

Allahu Akbar 3x wa Lillahilhamdu 

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah 

Mereka yang rajin shalat, maka Allah akan memberkahi kehidupan keluarganya, studi anak- anaknya, pekerjaannya, usaha dan perniagaannya, hubungan kemasyarakatannya, dan sebagainya. Bukankah demikian yang telah Allah janjikan. 

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan, memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Q.s. Ath-Thalaq [65]: 2-3). 

Demikianlah potret keluarga yang terpilih dan terberkahi itu, keluarga Ibrahim . Hari ini kita belajar untuk meneladaninya, agar setiap keluarga Muslim selalu berada dalam bingkai keimanan. Sebab hanya dengan imanlah, kita kelak akan dihimpunkan kembali di surga, bareng dengan keluarga kita. 

Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Q.s. Ath-Thuur [52]: 21).

Dikumpulkan kembali di surga bersama segenap keluarga adalah kerinduan yang selalu kita impikan. Semoga Allah anugerahkan kebarakahan untuk keluarga kita dan tetap kuatkan keluarga dalam naungan iman. Marilah kita akhiri khutbah Id ini dengan doa. Semoga Allah mengabulkan setiap doa kita. 


Masjid Baitul Muttaqien

BKP RW 01 Margatani Kramatwatu

Khutbah Idul Adha 1443 H 

Bapak Ustadz Yusuf Ramdani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar